Pasar Terapung Pute yang Tergerus Perkembangan Zaman

Saturday 7 July 2012

Dulu berkonsep terapung, saat ini Pasar Pute di Kabupaten Maros, berubah menjadi pasar semi modern.  

Pagi itu cuaca masih teduh. Seorang pria paruh baya menepikan perahunya di kolong jembatan. Tak lama berselang, dia mencoba merogoh kantongnya. Sebatang rokok dikeluarkan kemudian dihisap. Dia berlalu menuju pasar tak jauh dari tempatnya menambatkan perahunya.

Namanya Pasar Pute. Tempat yang dulu dikenal sebagai pasar terapung ini berada di Dusun Sulisuli, Kelurahan Bontoa, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros.

Dari pasar ini biasanya para turis local maupun mancanegara menempuh perjalanan untuk berwisata ke daerah Rammang-rammang yang terkenal dengan karst-nya.

Kini, pasar itu tidak seperti pasar pada umumnya. Pasar ini tidak lagi begitu dipadati pengunjung. Pedagang pun terlihat lebih memilih membuka lapak dibanding menempati bangunan los yang disediakan pemerintah. Bahkan ada yang membuka semacam kios di kolong jembatan dekat dengan sungai Pute. 
Pikiran penulis, pagi itu pukul 07.00 Wita masih terlalu pagi. Hingga kami akhirnya menunggu hingga pukul 09.30 Wita. Namun kondisinya masih tetap sama, masih sepi. Meski hari pasar, para pedagang hanya terlihat menunggu pembeli datang sembari berbincang dengan para pedagang lainnya.

Iwan, warga Sulisuli mengatakan, sebelum tahun 1980-an lokasi pasar Pute itu cukup ramai dikunjungi para pembeli. Apalagi, kata dia, di area itu para pedagang menjajakan dagangannya dengan menggunakan perahu. "Transaksinya juga biasanya menggunakan perahu. Tapi sekarang tidak lagi," katanya.

Bahkan, pembelinya tidak hanya berasal dari warga sekitar dan warga yang bermukim di Dusun Sulisuli dan Dusun Salenrang, Desa Salenrang, yang menggunakan akses perahu. Namun dari Bantimurung dan Bontoa juga banyak yang datang dengan perahu.

"Karena sungai Bantimurung dan Bontoa bisa tembus ke sungai Pute. Sehingga biasanya mereka menggunakan akses perahu ke Pasar Pute," ungkapnya.

Pada tahun 1980, pasar itu kemudian dipindahkan ke Lingkungan Belangbelang, Kelurahan Maccini Baji, Kecamatan Lau yang jaraknya sekitar satu kilometer. Tapi, belakangan pasar itu juga ditinggal pedagang dan pembeli.

Kini, setelah pasar di Belangbelang itu tak berfungsi, pemerintah daerah Maros kembali mendirikan kios dan los di Pute (tempat yang sekarang difungsikan, red). Konsep lama yang terapung, kini menjadi semi modern.

Padahal, menurut warga, bila konsep lama digunakan, itu bisa menjadi objek wisata sebagai pasar terapung di Maros. “Tapi, mungkin karena pertimbangan teknologi saat ini, sehingga pemerintah membuat semi modern,” katanya.

Selain itu, kendaraan sepeda motor dan infrastruktur jalan juga menjadi pertimbangan sehingga warga lebih banyak memilih untuk datang dengan kendaraan roda dua. “Dulu untuk datang ke pasar ini masih diakses pakai perahu karena belum ada jalan yang tembus ke Bosowa. Sekarang sudah jalan beraspal. Pilihan pasar modern juga sudah banyak,” ujar Baddu, warga setempat.


Pasar yang kini sudah menjadi semi modern itu diresmikan penggunaannya pada sekitar tahun 2011.

Meski demikian, kata dia, sarana dan prasarana sudah memadai. Namun kondisi pasarnya tidak lagi seramai dulu. Tak ada lagi pedagang yang menjajakan dagangannya di atas perahu.

"Banyak faktor yang membuat pasar itu mulai sepi, pertama bisa jadi perahu sudah kurang dan ada pergeseran generasi, dimana orang lebih suka melalui akses darat dengan kendaraan motor, sehingga paling yang menggunakan perahu sisa mereka yang tinggal di daerah Rammang-rammang dan memang harus melalui sungai," katanya.

Tidak hanya itu, kata dia, hari pasar ditambah menjadi tiga kali dalam sepekan, Selasa, Kamis dan Minggu. Sebelumnya, hanya Selasa dan Sabtu.

"Sehingga daya belinya kurang. Karena warga sekitar pasti berpikir mau beli apa dalam seminggu itu harus tiga kali ke pasar," jelasnya.

Seorang pedagang yang lokasi kiosnya tepat di kolong jembatan dekat dengan sungai Pute, Amir mengaku tidak terlalu banyak keuntungan yang diperolehnya dari hasil berdagang. Meski demikian dia tetap bertahan untuk biaya hidup. "Dalam sehari paling untung jualan cuma Rp50 ribu," katanya.

Sedangkan kalau hari pasar, kata dia, paling hanya Rp70 ribu saja. "Tidak seperti dulu lagi, sekarang pembeli sudah kurang. Mau pindah juga tidak tahu pindah ke mana," katanya.

Pembeli atau pelanggannya, kata dia, rata-rata dari Rammang-rammang yang menggunakan perahu. Dia mengaku berjualan selama 24 jam dengan berbagai jenis jualan. Mulai dari kopi seduh, galon, gas, solar, minyak tanah, kebutuhan nelayan seperti alat pancing dan pukat, serta kebutuhan pokok lainnya.

"Biasanya warung saya ramai oleh nelayan, tapi mereka biasanya hanya minum kopi," katanya.

Setiap musim panen, dia juga mengaku menjual saraung (topi dari daun nipa, red) yang bisanya digunakan para petani dan nelayan. "Tapi itu musiman, kalau lagi musim panen padi saya jual. Harganya juga bervariasi mulai dari Rp5 ribu hingga Rp7 ribu," ungkapnya.

Kebanyakan, kata dia, pelanggannya menggunakan akses perahu. Hal senada juga diungkapkan pedagang lainnya yang telah menempati los baru, Hj Caya dan Rusniati.

Mereka mengaku pendapatan mereka dari hasil berjualan di Pasar Pute tidaklah sebanyak awal-awal pasar itu diresmikan yang bisa mendapat penghasilan antara Rp300 sampai Rp500 ribuan.

"Sekarang untung-untungan, syukur kalau dapat Rp100 ribu atau Rp200 ribu dalam satu kali hari pasar," kata Rusniati yang memasarkan pakaian.

Dia mengaku tetap bertahan dengan alasan, turut meramaikan pasar saja. Pasalnya kalau tidak berdagang di sana, lama kelamaan pasar itu akan mati.

Pedagang sayur lainnya, Asseng juga mengaku pendapatannya dalam satu kali hari pasar tidaklah banyak. Dari hasil dagangannya itu, dia mengaku hanya bisa meraup untung antara Rp80 ribu hingga Rp100 ribu saja dari hasil jualan sayur, cabai dan kebutuhan pokok lainnya.

Sementara salah seorang pembeli, Hasan, mengaku menggunakan perahu untuk berbelanja di Pasar Pute. Dia mengaku kerap mendatangi pasar dan membeli solar, minyak tanah dan kebutuhan lainnya. Aktivitas itu, dia lakukan sudah sekitar enam bulan sejak pasar itu kembali diresmikan.

"Dulu waktu pasar ini dipindahkan saya biasanya belanja di Maros. Jadi biasanya naik perahu ke luar ke jembatan terus naik pete-pete (angkutan umum, red)," katanya.

Terpisah Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan, Thamrin Gassing mengatakan pada tahun 2010 pembangunan Pasar Pute dimulai dan ditempati tahun 2011. Alasan pembangunannya sendiri, kata dia, karena para pedagang belum memiliki sarana dan prasarana yang baik. "Makanya kita tingkatkan sarana dan prasarananya supaya bisa permanen dan pedagang tidak lagi berjualan dipinggir jalan," jelasnya.

Adapun luas bangunannya diperkirakan sekitar 10 are dengan jumlah los sekitar 30-an. (Arini Nurul)

0 komentar:

 
© Copyright 2010-2011 I'Mpossible All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.