Societeit de Harmonie, Dulu & Sekarang

Sunday 27 December 2009


Pasca pembongkaran arena pertunjukan indoor kesenian, jumlah karya seni yang dipertontonkan cukup minim di Makassar. Hanya segelintir komunitas/lembaga kesenian yang mencoba eksis berkarya meski pada ruang yang sempit dan mahal.

Di sebuah papan pengumuman yang berada di lobby Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, ada secarik kertas berwarna putih berlogo Pemprov Sulsel. Kertas tersebut berisi kalimat yang menyimpulkan gedung peninggalan kolonial Belanda itu akan direnovasi terhitung Mei 2009.

Terhitung penanggalan tersebut, kegiatan kesenian yang selama ini kerap disaksikan di gedung itu mulai perlahan-lahan ’meredup’. Arena indoor pertunjukan sudah rata dengan tanah. Sayang, hingga Desember tak ada lagi perkembangan pembangunan. Kuli bangunan sudah tak beraktivitas pasca membangun konstruksi pilar senilai Rp600 juta.

Di tengah pembongkaran bangunan itu, para penggiat seni yang semula memilih lokasi pementasan di gedung kesenian hanya bisa pasrah. Seperti yang dialami sineas muda film, Iking Siahsia yang terpaksa mengubah lokasi kegiatan. Dia bersama komunitasnya melakukan pemutaran film dokumentar di sekolah dan kampus.

”Mau diapa lagi. Yang menjadi persoalan, sampai kapan gedung ini bisa selesai dengan kondisi yang terbengkalai,” keluh Iking.

Begitupun dengan pementasan Kala Teater yang berjudul Stanza Diri Yang Pecah. Pementasan dengan durasi sekitar 45 menit ini hanya bisa dipentaskan pada ruang kecil di Benteng Fort Rotterdam. Jarak antar penonton dengan pemain sangat dekat mengingat ruangan sangat sempit. Para penonton hanya bisa duduk dilantai beralaskan karpet dalam menyaksikan teater yang disutradarai Shinta Febriany.

”Kami mencoba memaksimalkan pementasan meski ruang yang digunakan sangat tak representatif,” jelas Iking yang saat itu dipercayakan sebagai Penata Artistik Stanza Diri Yang Pecah.

Di Makassar, hanya gedung kesenian yang dianggap cukup ’refresentatif’ dalam pementasan kesenian. Ada panggung, kursi penonton, lighting, sound system, latar kain hitam dan dua ruangan di samping kiri dan kanannya yang dimanfaatkan sebagai ruang rias dan ruang tunggu pemain.

Selain fasilitas, harga untuk menggunakan gedung tertutup tersebut sangat terjangkau bagi para lembaga kesenian. Biasanya disewa Rp 1 juta atau Rp 2 juta per hari. ”Baru-baru ini, organisasi seni Universitas Negeri Makassar (UNM) harus merogoh dana besar untuk mentas di salah satu gedung serbaguna. Selain mahal, gedung tersebut sangat tidak refresentatif. Ya, beginilah kalau gedung kesenian dibongkar tanpa ada kejelasan penyelesaian pembangunan,” papar salah satu pengelola Gedung Kesenian Sociteit de Harmonie Jamal Dilaga.

Gedung Societeit de Harmonie berarti gedung perkumpulan harmoni di zaman kolonial Belanda. Dalam catatan sejarah, gedung yang berada di Jalan Riburane ini dibangun pada tahun 1986 silam yang digunakan acara kesenian dan ruang dansa para penjajah beserta ’nyonya-nyonya’ penjajah. Selain itu, gedung berciri Eropa abad XIX, bergaya Renaisance atau Yunani baru itu menjadi tempat pertemuan gubernur, walikota, dan petinggi militer Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), gedung tersebut tetap dijadikan pertunjukan seni dan kadang menjadi balai kota masyarakat serta sebagai tempat rapat-rapat untuk kepentingan Jepang.

Pasca pembacaan proklamasi sebagai titik kemerdekaan, gedung tersebut menjadi aset Pemprov Sulsel. Fungsinya, kadang digunakan sebagai kantor dan gedung pertunjukkan. Pada tahun 1998, para pekerja seni Sulsel mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk secara total memfungsikan gedung tersebut sebagai gedung kesenian. Alhasil, ’gerakan’ itu berbuah manis di era pemerintahan Gubernur Sulsel HZB Palaguna.

Di pemerintahan Gubernur Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang (Sayang), gagasan renovasi dan penambahan fasilitas terealisasi. Syahrul beranggapan, kalaulah tak ada lagi yang bisa memperbaiki negeri ini, siramlah dengan seni.

Namun, gagasan ini tak berjalan lancar dari target semula. Buktinya, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2009, Pemprov Sulsel tak menganggarkan pembangunan lanjutan gedung kesenian yang mengakibatkan gedung bersejarah itu terbengkalai. Ibaratnya, menanti tontonan ’dansa’ yang tak pasti untuk disaksikan.

***

”Mendesak DPRD Sulsel memonitoring proses renovasi gedung kesenian yang saat ini terbengkalai, sehingga DPRD memiliki informasi yang memadai tentang fakta dan kondisi gedung bersejarah itu...,”.

Kalimat di atas adalah salah satu isi tuntutan dari lembaga Forum Perubahan Masyarakat Seni (Formasi) yang diekspresikan dalam aksi teaterikal pada penanggalan 13 Desember lalu di halaman Gedung Kesenian Sulawesi Selatan Societeit de Harmonie.
Sebuah tuntutan dan keprihatinan yang ’memuncak’ atas kondisi gedung yang saat ini pengerjaannya terbengkalai dalam proses renovasi. Gedung yang selama ini menjadi ruang pertunjukan para pekerja seni sudah rata dengan tanah tanpa ada kejelasan pembangunan sejak September 2009 lalu.

”Kasian gedung ini. Pembongkaran membuat air hujan sudah merusak struktur bangunan,” tutur salah seorang pengelola Gedung Kesenian Sulawesi Selatan Societeit de Harmonie, Djamal Dilaga.

Kini, jangan mencari ’dansa’ di Bangunan Bergaya Renaisance. Sebab, tak ada lagi ruang pementasan para pekerja seni Sulsel yang murah dan sangat representatif pasca renovasi yang dilakukan sejak September 2009. Yang ada, hanya puing-puing bongkahan batu bata. Kondisi pun diperparah pada listrik di gedung kesenian yang pernah diputuskan pada dua bulan lalu lantaran menunggak.

“Saya masih mengingat pesan budaya Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, bahwa kalaulah tak ada lagi yang bisa memperbaiki negeri ini, siramlah dengan seni. Mana janji itu?,” tandas Djamal Dilaga.

0 komentar:

 
© Copyright 2010-2011 I'Mpossible All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.