Menyulap Nasi Basi Menjadi Karya Seni

Sunday 7 November 2010


Nasi basi adalah salah satu jenis limbah organik. Melalui sebuah proses daur ulang, nasi basi bisa menghasilkan karya seni dan mendatangkan profit.

ANDA mungkin tak menyangka jika sejumlah souvenir yang berjejer disebuah ruangan di bilangan Jalan Baji Ati 2 Nomor 59 A Kelurahan Bongaya, Kecamatan Tamalate terbuat dari nasi. Berbagai macam model antara lain buket sayur, bunga, dan sepasang manusia menghiasi ruangan berukuran 3 x 4 meter tersebut.

Harganya pun bervariasi sesuai dengan jenis model kerajinan. Mulai dari harga Rp15 ribu hingga Rp100 ribu yang memiliki ukuran sekitar 30 centimeter. Menyulap nasi basi menjadi karya seni, merupakan bentuk eksperimen yang digagas perempuan bernama Evi Mafira, 26. Rasa penasaran ibu yang akrab disapa Icha ini terhadap limbah organik dan anorganik melahirkan terbosan karya seni dalam proses daur ulang.

Perempuan kelahiran Madiun, Jawa Timur ini menyebut souvenir dan kerajinan tersebut bernama dausi (daur ulang nasi). Daur ulang tersebut telah dikenal sejak 10 tahun silam. Namun, perempuan yang juga gemar dengan karya seni ini mulai memfokuskan dausi secara professional terhitung tahun ini.

Ia mengaku terinspirasi dari sebuah buku yang membahas kerajinan yang terbuat dari bahan liat (clay) yang dapat dibentuk sesuai keinganan. Selain itu, perempuan dengan tinggi sekitar 168 centimeter ini terkontaminasi dengan suaminya yang berprofesi sebagai seniman.

Ia menceritakan, dirinya pernah berdomisili di Bali bersama suaminya. Kala itu, seorang seniman berkebangsaan Jepang sering membawa bahan clay yang membuat Icha melakukan eksperimen dengan mendaur ulang nasi.

“Kalau clay mengandung bahan kimia dan sangat berbahaya bagi anak-anak. Berbeda dengan mendaur ulang nasi yang hasilnya lebih alami dan tak berbahaya bagi lingkungan,” ujar Icha kepada penulis, Selasa (27/10).

Pembuatan souvenir tersebut tak perlu merogoh kocek dalam jumlah dana yang besar. Tak ada perangkat khusus. Modalnya, hanya lentikan jari anda, nasi basi yang sudah dipanaskan, lem, kanji, clear (pengkilap), dan pewarna yang tidak mengandung bahan kimia.

“Sehari-hari, saya lebih banyak menggunakan sisa makanan rumah. Sisa nasi biasa saya juga dapatkan dari tetangga yang memiliki usaha warung makanan. Tapi, nasinya harus tidak memiliki kadar air yang tinggi karena dapat merusak hasil karya yang diinginkan,” tutur Icha.

Proses pembuatannya pun tak butuh waktu yang lama. Minimal dua hari, nasi yang sudah tak layak dikonsumsi sudah berubah menjadi kerajinan sesuai model atau bentuk yang diinginkan. Icha menegaskan, ukuran dan ketebalan jenis souvenir juga mempengaruhi hasil yang diinginkan. Proses pengeringan pun harus dibawah terik matahari. Jika tidak, souvenir rusak karena berjamur.

“Jika ukuran souvenirnya agak besar, butuh dibuatkan rangka khusus. Jadi, nasi yang sudah diolah tinggal ditempel agar cepat kering. Terus terang, soal membuat rangka seperti mendesain sepasang manusia saya masih belajar dari suami saya yang selama ini membantu saya dalam membuat rangka” ujarnya.

Proses pengolahan nasi agar menjadi halus, lanjut dia, harus dilakukan secara tradisional yakni diulek lalu disaring. Setelah itu, nasi yang sudah halus, lalu diramu dengan lem, kanji, dan zat pewarna. Hasilnya seperti adonan kue yang dapat dibentuk sesuai dengan keinginan. “Adonan dapat dibikin sesuai keinginan yang ada dibenak maupun dihati kita,” pungkasnya.


Tahun Karya

TAHUN 2010 merupakan masa emas bagi Icha. Ditahun macan itu, karya seni berbahan dasar seonggok nasi itu mulai dipromosikan kepada publik melalui kegiatan pameran khusus produk daur ulang limbah organik dan anorganik.

Saking seringnya diundang dalam pameran produk, ia mengaku lupa jumlah ajang pameran yang diikutinya. Icha hanya bisa mengingat pameran yang digelar bulan September lalu di Gedung Olah Raga (GOR) Andi Mattalatta. “Souvenir yang paling laris pada saat pameran mayoritas berbentuk bunga dan buah,” sebutnya.

Dikisahkan, dirinya sama sekali tak menyangka hasil karyanya mendapat sambutan yang sangat positif. Kegiatan mendaur ulang yang dilakoni sejak 10 tahun silam hanya sebatas penyaluran hobi dalam dunia seni.

“Saya biasanya susah tidur dimalam hari. Waktu itu saya biasa gunakan untuk mendesain apa saja dari bahan nasi yang sudah dicampur dengan lem dan kanji sehingga bisa menjadi souvenir,” ujarnya.

Tak ada keinginan Icha dari kerajinan tangannya akan mendatangkan profit. Ia justru ditantang dari kerabat disekelilingnya untuk bekerja secara profesional. Intinya, hobi bisa mendatangkan uang. Namun, saran tersebut yang ditujukan kepada Icha berlalu begitu saja.

Hingga akhirnya, seorang teman dekatnya langsung berniat membeli souvenir daur ulang nasi tersebut dalam jumlah banyak. Daur ulang itu akan dijadikan souvenir ucapan terima kasih pada perayaan pernikahan. Tak pelak, Icha mengaku sumringah dan mulai mengelola kerajinan tangan daur ulang nasi secara profesional.

“Kala itu memang ada teman dari Bali dan Kalimantan yang akan membeli sebanyak 500 unit. Sejak itu, saya yakin kalau hobi pasti mendatangkan uang,” ujarnya.
Selain kegemaran, istri dari pria yang Cherry ini mengaku terinspirasi dari turis mancanegara yang kerap mempropagandakan global warming melalui mendaur ulang limbah. Uniknya, kampanye lingkungan yang dilakukan para wisatawan asing tersebut dengan menghargai produk daur ulang.

“Waktu di Bali, suami saya banyak berteman dengan bule yang selalu meminta kepada kami untuk mengurangi sampah yang ada dimuka bumi. Salah satunya dengan mendaur ulang sampah dengan membuat segala macam perangkat yang tentunya dapat bermanfaat bagi manusia,” urainya.

Kini, propaganda tersebut mulai disebar ke anak-anak yang bermukim di Jalan Baji Ati 2 Kelurahan Bongaya, Kecamatan Tamalate. Segala macam sampah yang dapat didaur ulang disimpan ‘dibank’ (tempat dari sampah yang dapat didaur ulang). Misalnya, gelas air mineral hingga kertas koran.

Baginya, sampah merupakan masalah yang tak akan ada habisnya, karena selama kehidupan ini masih ada. Maka sampah pasti akan selalu diproduksi. Produksi sampah sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk. Semakin bertambah banyak jumlah penduduk, semakin meningkatlah produksi sampah.

“Persoalan lingkungan memang harus diajarkan pada anak-anak sejak dini. Dengan pemanfaatan ulang sampah kepada anak-anak, tentunya bisa menyelamatkan bumi tempat kita berpijak dari kehancuran,” pungkasnya.

1 komentar:

daeng oprek said...

wah menarik nih, sangat kreatif. Memang bumi perlu tangan-tangan terampil seperti dia. semoga sukses usaha tersebut, amin.

Salam kenal ya...

 
© Copyright 2010-2011 I'Mpossible All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.